Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusannya Nomor 114/PUU-XX/2022, menolak seluruhnya permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang diajukan oleh Riyanto dkk (6 orang).
Atas putusan tersebut, maka Pemilihan Umum (Pemilu) anggota DPR/DPRD di tahun 2024 mendatang, tetap menggunakan sistem pemilu sebelumnya. Yakni pemilih memilih calon anggota DPR/DPRD dengan cara mencoblos tanda gambar kandidat calon legislatif.
Menurut Hakim Konstitusi Saldi Isra, apabila pemilu legislatif menggunakan sistem yang mencoblos tanda gambar partai politik saja, maka akan menutup ruang bagi rakyat untuk memilih calon anggota DPR/DPRD yang dikehendakinya.
“Bila memaknai Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 dalam menentukan sistem pemilihan umum menutup ruang bagi pemilih untuk dapat menentukan pilihannya sehingga keterpilihan calon ditentukan sepenuhnya oleh partai politik, hal demikian akan mengingkari makna kedaulatan rakyat dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945,” ujar Saldi diruang sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (15/6/2023).
Lebih lanjut ia mengatakan, apabila calon anggota legislatif sepenuhnya dipilih oleh pemilih, maka sistem pemilu tersebut justru mengingkari keberadaan partai politik yang memiliki kewenangan dalam mengusulkan calon anggota DPR/DPRD.
“Maka dalil-dalil para Pemohon yang pada intinya menyatakan sistem proporsional dengan daftar terbuka sebagaimana ditentukan dalam Pasal 168 ayat (2) UU 7/2017 bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum”, tegas Saldi.