JAKARTA – Ombudsman menyoroti data pemilih di lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan yang perlu dievaluasi. Ombudsman meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM memastikan seluruh Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) memperoleh haknya dalam Pemilu 2024.
Anggota Ombudsman, Johanes Widijantoro menegaskan, penyampaian suara dari masyarakat dalam memilih pasangan calon Presiden, Wakil Presiden, dan Anggota Legislatif menjadi salah satu bentuk pemenuhan hak sipil politik dari masyarakat sesuai Pasal 43 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Hal tersebut tak terkecuali terhadap WBP di lapas dan rutan.
“Tentunya setiap warga negara, termasuk WBP di lapas dan rutan mempunyai hak yang sama dalam memberikan suara untuk Pemilu serentak ini. Permasalahan perpindahan data DPT, DPTb maupun DPK tentunya perlu menjadi evaluasi ke depan. Jangan sampai karena permasalahan tersebut seorang warga negara tidak dapat menggunakan hak pilihnya,” terang Johanes di Kantor Ombudsman RI, Selasa (13/02/2024).
Berdasarkan data dari KPU yang disampaikan dalam pertemuan secara daring antara KPU, Ombudsman dan Ditjen Pemasyarakatan pada tanggal 6 Februari 2024, jumlah data total pemilih adalah 204.807.222. Dari jumlah tersebut, pihak Ditjen Pemasyarakatan menyampaikan bahwa estimasi Warga Binaan Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan di seluruh Indonesia sejumlah 242.308 orang. Dengan rincian DPT aktual berjumlah 139.705 orang, DPTb berjumlah 65.743 orang, dan calon DPK berjumlah 36.860 orang.
Berdasarkan keterangan dari pihak KPU dan Ditjen Pemasyarakatan, bahwa telah dilaksanakan pertemuan utuk membahas pelayanan pemilih di lapas dan rutan pada tanggal 16 Januari 2023.
Namun beberapa permasalahan mengenai jumlah DPT yang tidak sesuai data faktual karena data yang fluktuatif di lapas dan rutan serta jumlah surat suara yang disediakan hanya sejumlah DPT ditambah 2%, berpotensi tidak dapat terpenuhinya kebutuhan jumlah pemilih di lapas.
Ketersediaan jumlah surat suara yang terbatas di lapas dan rutan tersebut berpotensi adanya WBP yang tidak dapat menggunakan hak pilihnya, karena WBP tidak dapat mencari TPS lain yang terdapat sisa surat suara, selain di dalam lapas.
“Aturan yang berlaku saat ini tentu belum cukup mengakomodir untuk mengantisipasi data pemilih pada TPS khusus seperti di lapas dan rutan. Maka ke depan perlu dilakukan antisipasi akan permasalahan data pemilih di TPS khusus ini,” tegas Johanes.
Lebih lanjut ia mengatakan, beberapa permasalahan pemenuhan hak pemilih di lapas dan rutan tentu perlu menjadi perhatian berbagai pihak terutama KPU dan Ditjen Pemasyarakatan. Perlu dilakukan evaluasi lebih awal dan upaya-upaya dalam mengantisipasi data dan jumlah pemilih yang fluktuatif di lapas atau rutan.